JOURNALTELEGRAF - Kontestasi pemilihan walikota dan wakil walikota Bitung adalah pertarungan pemilik modal (uang) melawan pemilik ide dan gagasan. Hal itu disampaikan oleh salah satu tokoh muda Kota Bitung Novianto Topit, Sabtu 31 Agustus 2024.
Menurutnya, sejak awal dominasi kehadiran para pemilik modal di kubu pasangan bakal calon (Bapaslon) Hengky Honandar dan Randito Maringka terlihat sangat dominan. Masyarakat seakan terhipnotis dengan berbagai bantuan berupa finansial yang diberikan oleh keduanya.
Mereka kata dia, jor-joran memperlihatkan kepada masyarakat bahwa pasangan calon yang diusung Partai Gerindra, NasDem, Demokrat, Perindo, dan PAN itu bisa melakukan apa saja dengan finansial yang dimiliki.
"Itu yang tertanam dibenak masyarakat Kota Bitung terhadap kedua paslon ini. Jika kamu mau uang, silakan merapat ke kubu Hengky Honandar dan Randito Maringka. Tetapi jika inginkan sosok pemimpin yang visioner dan punya kemampuan serta kapabilitas, itu ada pada sosok Geraldi Mantiri dan Erwin Wurangian," ujar Topit.
Baca Juga: Pencalonan Hengky Honandar Bisa Terganjal UU Pilkada, Ini Alasannya
Dia juga menegaskan, jika pertarungan finansial dan kapasitas ini akan menjadi bukti sejauh mana masyarakat Kota Bitung cerdas memilih pemimpin dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
"Tapi saya hanya ingin sampaikan, bahwa Indonesia Emas 2045 butuh figur yang punya kemampuan di atas rata rata, bukan yang mengandalkan citra seakan mereka merakyat dan punya jiwa sosil yang tinggi, padahal faktanya tidak demikian. Kita justru membutuhkan sosok yang mampu membawa kota Bitung untuk siap menghadapi berbagai gejolak ekonomi di masa depan dengan menghidupkan ekonomi masyarakat dan menjadikan mereka lebih kuat dan mandiri, " jelasnya.
Baca Juga: Pilkada Bitung 2024: Bapaslon Walikota dan Wakil Walikota Geraldi-Erwin Ikuti Pemeriksaan Kesehatan
Masyarakat lanjutnya, tidak boleh terus terusan dibodohi dengan gaya kepemimpinan model feodal seperti yang dipertontonkan Hengky Honandar dan Randito Maringka.
"Mereka pikir dengan memberi kesan seperti itu kepada masyarakat saat Pilkada adalah contoh baik, itu justru sebaliknya. Karena setelah di pilih jadi pemimpin, semua yang mereka lakukan akan sirna dengan sendirinya. Karena itu hanya dilakukan karena kepentingan politik pragmatis sesaat," pungkasnya aktivis yang pernah berkiprah di Jakarta itu. ***